Dalam dua pekan ini, dua lembaga pemeringkat asing telah memberikan nilai yang buruk bagi
perekonomian Indonesia. Tak lain disebabkan oleh lambatnya pemerintah dalam
memutuskan kenaikan BBM bersubsidi.
Standard & Poor's sebelumnya telah menurunkan outlook peringkat utang
Indonesia, yaitu dari BB+ positive menjadi stable. Ironisnya, S&P dengan
senang hati memberikan predikat investment grade kepada Filipina. Padahal,
Indonesia telah menginginkan predikat tersebut sejak meletusnya masa reformasi
1997 hingga 1998 lampau.
Dengan peringkat investment grade, maka suatu negara bisa menerbitkan surat
utang dengan bunga rendah lantaran kelangsungan ekonomi negara tersebut telah
dijamin oleh negara pemeringkat tersebut.
Awal tahun ini, tiga lembaga pemeringkat asing telah memberikan predikat
investment grade ke Indonesia. Di antaranya adalah Moody's dengan Baa3 dengan
outlook stable. Sementara Fitch memberikan rating BBB- dengan outlook positive.
Namun, setelah S&P menurunkan outlook ekonomi Indonesia, Moody's turut
angkat bicara, lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat itu mengancam akan
menurunkan peringkat Indonesia jika keadaan ekonomi Tanah Air tidak berubah.
Alasan S&P memangkas rating Indonesia adalah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono yang lamban dalam menentukan kenaikan BBM bersubsidi. Padahal, BBM
bersubsidi telah memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Seperti yang telah diketahui, rencana kenaikan harga BBM bersubsidi telah
direncanakan sejak tahun 2011 lalu. Namun hingga kini langkah pemerintah untuk
menghemat pemakaian BBM bersubsidi belum juga terealisasi.
Meski begitu, bila dilihat dari kesehatan APBN Indonesia, saat ini defisit
hanya berada di 1,63 persen dari produk domestik bruto. Padahal, kondisi
keuangan Amerika Serikat lebih buruk dibanding Indonesia. Tahun ini, defisit
anggaran negara Paman Sam itu mencapai 7-8 persen.
Dilihat dari sisi utang, AS telah mencatatkan rasio utang 74 persen dibanding produk domestik bruto. SementaraIndonesia masih di bawah 30 persen.
Dilihat dari sisi utang, AS telah mencatatkan rasio utang 74 persen dibanding produk domestik bruto. Sementara
0 komentar:
Post a Comment